Ulasan pentas umang-umang 1

Diposting oleh Teater Lakon Kamis, 10 Desember 2009




Indonesiaseni.com, Bandung - Manusia senantiasa diberi pilihan untuk memilih jalan kehidupan oleh yang Maha Kuasa. Namun jika ia memilih untuk menyalahi jalan Tuhan dan menginginkan hidup kekal, tak ayal malah hanya akan mendatangkan kematian jiwa sebelum kematian yang sesungguhnya datang, karena diri yang terpenjara dalam hidup penuh kebosanan dan kesepian.



Demikian refleksi yang disampaikan lewat pertunjukan “Umang-Umang (Atawa Orkes Madun 2)”, produksi Teater Lakon UPI, di Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) Ledeng, Bandung, Sabtu, (5/12). Pementasan teater yang disutradarai oleh Dedi Warsana ini sebelumnya dipentaskan di Gedung PKM UPI Bandung, 20 – 21 November lalu, juga di Cianjur, 30 November – 1 Desember 2009.

Umang-umang (1976) yang merupakan naskah karya Arifin C Noer, mengisahkan tentang seorang pemimpin perampok yang arogan dan sangat disegani bernama Waska (Yusak Anugrah). Ia dan komplotannya kerap kali melakukan aksi-aksi perampokan hingga di saat suatu rencana perampokan besar akan dilakukannya, Waska menderita penyakit aneh dan semua anggotanya dibuat bingung dan sedih memikirkan Waska. Kaki tangan nya yang setia, Ranggong (Sahlan Bahuy) dan Borok (Chandra Kudapawana) berusaha mendapatkan ramuan dadar bayi dari dukun sakti hingga berhasil memperpanjang usia Waska. Tetapi berkat ramuan itu, Waska, Ranggong, dan Borok tidak pernah bisa mengalami kematian meski semua komplotan perampok telah mati dan tinggal tersisa keturunan-keturunannya. Segala usaha pun dilakukan, terutama dengan mencoba bunuh diri, tapi semua cara nihil dan mereka hidup dalam sebuah ruang dan waktu yang didalamnya hanya ada kekosongan bersama daya hidup yang sebenarnya telah mati. Arifin C Noer memang dikenal akrab dengan penulisan naskah-naskah teater yang mengusung isu publik dan kemiskinan bersama berbagai permasalahan yang pelik, tetapi dihadirkan secara menghibur tanpa melupakan esensi makna yang utama.



Terlihat Dedi Warsana sebagai sutradara sekaligus aktor menampilkan pementasan dengan daya tarik kedalaman pesan dan kesetiaan pada naskah untuk disampaikan kepada penonton. Kerap kali dialog-dialog parodi muncul dari para pemain sembari disisipi hentakan musik dan tari dangdut bersama keriangan, seolah-olah menampilkan hiburan seadanya untuk kaum miskin, seperti halnya dangdut pantura. Tetapi di bagian lain tetap hadir adegan-adegan dengan penekanan yang lebih serius seputar dikotomi hidup dan kematian sebagai benang merah pementasan ini. Sungguh disayangkan, kesadaran blocking dan moving antara para pemain terkadang kecolongan hingga saling menutupi satu sama lain. Beberapa lontaran dialog yang diharapkan menjadi humor renyah untuk dinikmati penonton pun terasa hambar tanpa makna karena interaksi yang kurang matang dengan penonton.



Dekorasi panggung berupa tumpukan kayu yang disusun sederhana namun multi fungsi, untuk memudahkan pergantian setting di adegan selanjutnya. Sedangkan kostum terlihat seragam dengan corak warna, pola, dan gaya yang seadanya, seolah mencerminkan kesederhanaan sesuai dengan kehidupan kaum miskin, namun di sisi lain memperlihatkan kurang matangnya persiapan kostum dalam pementasan. Dalam pencahayaan, warna cahaya terlihat dengan intensitas gelap terang, meski pilihannya lebih pada pencahayaan redup tetapi hal ini wajar bila memang disesuaikan untuk memperkuat visualisasi mengenai kesedihan dan tragedi.



Pertunjukan Umang-Umang (Atawa Orkes Madun 2), merupakan pilihan tepat sutradara bila dihubungkan dengan rekaman kehidupan kelam masyarakat miskin di negeri ini pada masa lampau, sekarang atau kelak di masa depan, di mana kejahatan kerap timbul karena keterpaksaan. Hidup enggan, mati pun tak mau! Dan pilihan untuk menjadi manusia jahat yang mengingkari hati nurani merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup meskipun pilihan itu diselingi nafsu dan kepuasan. Tuhan pun akhirnya memberikan sebuah hukuman kepada komplotan perampok itu melalui pemimpinnya karena gaung kejahatan yang sering diteriakkan Waska. Sementara keliaran dan vulgaritas disuguhkan secara emosi melalui percintaan Waska dan seorang mucikari bernama Bigayah (Ayu Suminar).



Tetapi kisah cinta dan kejayaan Waska makin lama makin redup seperti api dalam lampion, termakan waktu dan kekekalan hidupnya bersama kaki tangannya yang setia. Upaya Waska, Ranggong, dan Borok untuk membunuh dirinya, yang ditampilkan dalam beberapa adegan menjelang ending cerita, kemudian hanya menjadi kesia-siaan, sebab melawan hukum alam seperti kematian, sama artinya dengan melawan kehendak Tuhan dan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bermain-main dengannya hanya akan mengakibatkan penderitaan. Kurang lebih itulah makna yang ingin disampaikan selama dua jam pementasan ini.

lihat sumber disini

0 Responses to Ulasan pentas umang-umang 1

Posting Komentar


umang
Photobucket bigwaska