BUAT TEMEN-TEMEN YANG MASIH INGIN MENGAKSES WEBSITE TEATER LAKON, DIBIBERITAHUKAN KAMI TELAH PINDAH ALAMAT KE :

www.teaterlakon.com


disana banyak sekali yang bisa temen-temen dapatkan. mulai dari info teater, koleksi naskah, video latihan, dll. dan semuanya kami sajikan gratis!!
terimaksih

salam budaya....

bagi semua teman-teman yang ingin bergabung dengan kami. Silahkan download formulirnya.Pada link bawah. terimakasih.


DOWNLOAD FORMULIR
Contact : Chanz 08529 405 1818

berubah untuk berkembang, berkembang untuk berbuah

salam budaya...
segenap anggota dan pecinta Teater Lakon mengucapkan banyak terimakasih kepada ketua Demisioner yakni sdr. Jajang Arkidam atas masa baktinya kepada Teater Lakon dalam kurun waktu 2009-2010. Semoga segala upaya dan perjuangan selama ini mendapat pahala dari Allah SWT.
dan tak lupa kami ucapkan selamat berjuang kepada Ketua Teater Lakon terpilih WILDAN TANGINAS dalam masa bakti 2010-2011. Berjuanglah dan tetap Jaya!

puji syukur tiada henti kami panjatkan pada Sang Maha Seniman, atas segala upaya jerih payah, cucuran keringat dan tentunya doa para lakoners se jagat raya. Akhirnya pada hasil akhir FDBS (Festival Drama Basa Sunda 2010) teater Lakon meraih prestasi yang lumayan membanggakan. yakni meraih juara III dalam kategori umum. prestasi lainnya adalah terpilihnya Mohamad Aditya sebagai Aktor Terbaik dalam festival bergengsi di Jawa Barat itu. Tentu ini bukan akhir dari perjuangan kami, masih ada banyak energi kami yang masih tersisa. Masih banyak tenaga yang kami sisakan demi terus membawa teater Lakon ke arah yang jauh lebih baik. semoga.

Sebuah pertunjukkan drama yang berjudul “Umang-umang” dipentaskan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, pada hari Jumat, 20 November 2009 pada pukul 14.00 dan malamnya dipentaskan lagi pada pukul 19.00. begitu juga keesokan harinya, drama dipentaskan pada dua waktu pementasan yang sama. Drama yang disutradarai oleh Dedi Warsana ini mengisahkan tentang kisah segerombolan perampok yang dipimpin oleh Waska yang mempunyai orang kepercayaan yang bernama Ranggong dan Borok. Anak buah Waska tidak terhitung, sangat banyak memenuhi seluruh penjuru negeri. Waska merencanakan sebuah perampokan besar-besaran yang akan dilakukan olehnya dengan seluruh anak buahnya di seluruh penjuru, dia ingin menguasai dunia pada saat itu. Dia ingin melakukan apa pun yang dia mau, mengambil apa saja yang ia kehendaki, berlaku dengan semaunya sendiri dan tak ada yang bisa melarangnya karea dia mempunyai kekukatan dan kekuasaan yang sangat besar di negeri tersebut.
Waska sekarat menjelang perampokan besar-besaran yang sudah direncanakannya sejak lama. Dia pergi dari tempat persembunyian untuk melampiasan rasa sakitnya. Semua anak buah serta orang-orang dekatnya sangat panik dan meratapi kepergiannya. Kemudian mereka mencari Waska ke semua tempat yang bisa didatangi, dan akhirnya Waska ditemukan di dalam sebuah gerbong kereta api. Kemudian Ranggong dan Borok, dua orang kepercayaan Waska, meminta jamu dari seorang sakti yang mempunyai banyak nama tapi lebih sering dipanggil Wiku atau Abert. Albert memberikan rumusan jamu yaitu jamu dadar bayi, jamu yang dibuat dari jantung bayi yang dikeringkan lalu ditumbuk halus. Konon jamu itu jamu anti mati. Ranggong dan Borok mendapatkan jantung bayi yang disyaratkan itu dengan mengelabui penjaga kuburan. Penjaga kuburan yang ditemani oleh anaknnya, disuruhnya menggali kuburan bayi-bayi untuk diambil kain kafannya dengan imbalan yang telah disetujui. Tetapi yang terjadi kemudian, Ranggong dan Borok mengambil jantung bayi-bayi itu. Penjaga kuburan sangat marah dengan penipuan itu, tetapi tidak berlangsung lama karena ia dana anaknya segera dibunuh oleh Ranggong dan Borok. Akhirnya Waska dapat disembuhkan.
Dari segi pementasan, Drama ini cukup menarik. Setidaknya menyita perhatian hamper seluruh penonton yang terdiri dari berbagai kalangan seperti pelajar, guru, mahasiswa, dosen dan masyarakat umum juga tidak ketinggalan. Kostum yang digunakan sudah sesuai dengan lakon yang diperankan serta watak dari masing-masing pemeran drama. Musik yang mengiringi mewakili setiap suasana yang dipentaskan. Meriah, sedih, sepi, sukacita, gaduh, dan sebagainya. Apalagi ditambah dengan pementasan lagu dangdut dalam banyak adegan yang dipadukan dengan koreografi yang menarik, menambah suasana ceria yang benar-benar hidup. Ada juga beberapa adegan komedi yang disuguhkan. Semua pemeran sudah melakukan peranannya dengan sangat matang.
Jika dilihat dari segi sosial, kebersamaan serta persaudaraan mereka patut dipuji. Mereka selalu kompak dan mencintai satu dengan yang lainnya. Tetapi dari segi moral, jelas itu sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Bagaimana pun merampok itu pekerjaan yang sangat jahat dean teercela, apa pun alasannya. Mereka mengatas namakan kelaparan untuk melakukan tindakan kriminal tersebut. Tentu saja hal itu tidak bisa dibenarkan.
Banyak orang yang merasa takut meghadapi kematian, banyak alasan yang mereka ungkapkan untuk hal itu. Ada yang merasa takut karena dosa-dosanya sangat banyak dan belum bisa bertobat, ada yang enggan meninggalkan sanak saudaranya, keluarganya, hartanya, ada yang masih sangat mencintai dunia dan ingin hidup selamanya di dunia, ada yang takut pada siksa yang akan dihadapip kelak di akhirat. Tetapi tidak demikian halnya dengan Waska, Ranggong dan Borok. Mereka sangat bosan dengan hidup yang mereka alami, hidup yang terlalu lama. Mungkin itu adalah efek dari jamu anti mati yang diminum Waska, dan berimbas juga kepada Ranggong dan Borok. Mereka menjalani hari-hari mereka dengan hidup yang membosankan. Anak buah mereka yang tidak terhitung sudah mati dan tinggal anak cucu merea yang masih ada di dunia. Tetapi Waska, Ranggong, dan Borok tetap saja hidup. Berbagai cara telah mereka upaykan untuk bunuh diri, tetapi tidak pernah berhasil. Entah sampai kapan mereka didera kebosanan menjalani hidup seperti itu.

sumber disini

DARI pementasan naskah “Umang-umang atawa Orkes Madun 2” (selanjutnya: UUM) yang dipentaskan oleh Teater Lakon UPI pada Sabtu 5 Desember 2009 kemarin, saya akan mengawali catatan ini dengan kritis: Music score-nya OK, tetapi theme song-nya tidak begitu suka. Bukan karena jelek, tetapi karena masih kurang madun, kurang greget. Saya pikir memang harus lebih banyak mengekplorasi musik melayu, bukan dangdut. Mungkin karena kata ‘madun’ yang artinya joget, mengingatkan saya akan meriahnya musik Melayu seperti yang diceritakan seorang kawan yang lahir dan besar dalam kebudayaan Melayu di Sumatera.

Itu memang penilaian subjektif. Tetapi dari keseluruhan saya pikir Dedi Warsana cukup berhasil membawa Teater Lakon UPI ke tataran kelompok teater mahasiswa yang lebih jauh. Saya tahu persis bagaimana sulitnya membangun teater yang penuh gairah di tengah gencarnya godaan menjadi artis sinetron yang bening atau aktor film yang kinclong dengan ribuan fans yang rela melakukan apa saja untuk dekat dengan sang idola. Bahkan dewasa ini, rasanya bukan teater mahasiswa saja yang kepayahan. Kelompok-kelompok teater besar pun sepertinya mengalami fenomena yang sama. Mungkin, Facebook dan sinetron lebih menarik daripada mengeksplorasi seni peran dan berakting di atas pentas. Karena hidup bersama dan di dalam kelompok teater memerlukan aktivitas fisik, jiwa, juga militansi ekstra. Tidak sekedar sebagai penyalur ekspresi dan ideologi berkesenian.

Cukup berhasil karena UUM ini adalah adalah naskah teater yang bisa dibilang klasik dan fenomenal. Ditulis oleh alm. Arifin C. Noer, UUM merupakan sebuah naskah yang memerlukan banyak pemeran. Dari segi jumlah pemeran, UUM adalah naskah kolosal. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan banyak pemain dalam teater, apalagi teater mahasiswa non-seni seperti halnya UPI. Hal ini juga dirasakan oleh Teater Tetas dalam pementasan naskah yang sama di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena seperti saya bilang, teater bukanlah tempat yang gemerlap dan berbintang-bintang seperti sinetron. Tidak ada kelimpahan materi atau sanjungan di dunia ini, bahkan sebaliknya. Sehabis bermain para akor dan aktris teater harus pula membereskan panggung dan set-nya. Membongkar panggung, membongkar dan merapikan instalasi lampu, sampai menerima semprotan dari orangtua para aktris karena anak gadisnya baru tiba di rumah menjelang subuh dalam kedaan lusuh. Itulah mengapa saya katakan juga teater memerlukan aktivitas jiwa, fisik, dan militansi ekstra.

Saya sangat suka berbagai aspek dalam pentas ini. Sungguh. Make-up karakter yang rapi dan sangat membangun karakteristik, tata lampu yang apik, artistik panggung yang imajinatif, koreografi dan bloking yang asyik, serta kualitas akting para aktor dan aktris yang terlibat. Kotak-kotak kayu diubah dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga penonton percaya bahwa kotak-kotak kayu itu bisa menjelma menjadi pulau, gedung, tempat tidur, bahkan bukit yang tinggi. Kostumnya pun menarik. Terlebih kostum Waska yang menurut saya futuristik, kostum Ranggong yang bergaya rocker, atau kostum Bigayah yang sangat lonte.

Padahal, menurut sang Sutradara dalam perbincangan usai pementasan, hampir setengahnya adalah pemain baru. Selain itu seorang pemain kunci tiba-tiba menghilang sebelum gladiresik berlangsung. Walhasil Dedi Warsana terpaksa bekerja keras meringkas beberapa bagian naskah dan terpaksa turut bermain menjadi tokoh Jonathan sang Seniman, menggantikan pemainnya yang menghilang hingga pertunjukan berakhir. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang Dedi Warsana, yang selain harus menjadi sutradara juga harus bertindak sebagai pelatih moral dan disiplin yang ketat. Pengalamannya sebagai aktor teater kawakan mampu membuat para aktor dan aktris pemula dalam UUM ini tetap militan hingga saat terakhir. Tentu saja terkecuali aktor yang menghilang itu, yang tidak kuat menahan tekanan mental bahkan jauh sebelum pertunjukan mulai.

Walau demikian, masih ada pertanyaan lain, terutama dari segi make up karakter yang menurut saya masih ‘begitu-begitu juga’. Seolah menjadi suatu stereotip bahwa make-up karakter haruslah selalu seperti itu. Harus coreng-moreng di sana-ini sehingga membuat penampilan para pemeran sangat jauh dengan para aktor-aktris di sinetron atau reality show, yang walaupun jahat, miskin dan marjinal tetapi tetap terlihat ganteng dan cantik. Pada tokoh-tokoh kunci, make up tersebut memang berhasil membangun karakter, tapi pada beberapa peran kecil yang terjadi justru sebaliknya.

Dari segi cerita, UUM adalah naskah yang sangat kontekstual dengan perkembangan dunia nyata dewasa ini. UUM menceritakan fanatisme sekelompok kaum marjinal yang berprofesi sebagi perampok, copet, pelacur, serta sekumpulan masyarakat yang tidak akan pernah masuk dalam sensus negara baik-baik ini; seolah-olah berhadapan dengan kondisi di dunia nyata. Kondisi di mana sistem kleptokrasi (maling menjadi penguasa dan penguasa menjadi maling) menjadi panglima, di mana pencurian dan korupsi adalah sabda yang tak terbantahkan dan diamini banyak orang. Bagaimana sang Pemimpin kelompok marjinal-proletar itu, Waska, begitu berambisi untuk merampok dan merampas semua harta benda orang-orang kaya. Waska menekankan merampok bukan sebagai aktivitas kejahatan demi perut, tetapi sebuah perjuangan ideologis. Waska, sembuh dari sakit kerasnya setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi yang disediakan abdinya yang setia, Ranggong dan Borok, kemudian hidup beratus tahun lamanya. Waska pun hidup dalam gelombang demi gelombang kejahatan yang ia ciptakan sendiri.

Namun bukanlah manusia bila tidak merasa bosan. Waska, Ranggong, dan Borok, merasa rindu akan masa lalu. Karena setelah semua teman-teman dan anggota kelompoknya mati, Waska yang hidup abadi setelah mengkonsumsi jamu dadar bayi, merasa sunyi. Waska merasakan bahwa kematian adalah pilihan, bukan takdir maka kemudian ia memilih dan meminta untuk mati. Waska, Ranggong, dan Borok pun akhirnya mati setelah mereka merasa lelah dan putus asa karena tak mati-mati.

Pemeran Waska pun saya pikir cukup baik untuk aktor seusianya. Sebagai karakter sentral, tokoh Waska ini sebetulnya diperankan bersamaan dengan tokoh Semar. Dengan kata lain, sang aktor harus memerankan dua karakter , Waska dan Semar, secara bergantian (double casting). Pemeranan yang berhasil lainnya saya pikir adalah pemeranan tokoh Borok. Borok adalah satir yang secara visual sangat mendukung. Tampang sangar dengan kumis baplang stereotip ala centeng tetapi dialognya cenderung kocak dan ‘nonjok’. Kerapkali tokoh ini mengucapkan kata “modar” di saat yang tepat. Atau aksen Sunda yang tiba-tiba lolos dalam beberapa dialog membuat pentas menjadi lebih hidup dan segar.

Pemeranan tokoh Borok ini juga mampu menutup kelemahan tokoh waska dan Ranggong yang dalam beberapa adegan awal tampak kedodoran karena tempo pementasan yang relatif cepat. Bahkan bisa dibilang sebetulnya tokoh Borok ini adalah tokoh penentu keberhasilan pementasan keseluruhan.

Dedi Warsana, sutradara bermain pun, bisa membuat pertunjukan ini tetap berada di relnya. Tidak lantas terjebak pada gaya pementasan longser atau lenong, walau para pemain kerapkali mengajak interaksi dengan penonton dalam monolognya. Para musisi pun saya dengar merespon para aktor-aktris di panggung dengan celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan menjadi meriah. Satu hal yang mungkin cukup menarik adalah Dedi Warsana bisa membuat UUM ini seolah-olah menjadi sangat Sunda. Para aktor dan aktrisnya tampaknya diberi kebebasan untuk melontarkan beberapa joke atau banyolan dan dialog yang khas, yang nyunda banget.

Agak sulit memang untuk menulis opini ini secara objektif karena saya belum pernah membaca naskah atau sinopsis UUM sebelumnya. Pun saat pementasan, saya luput tidak mendapatkan brosur atau apapun itu, yang di dalamnya berisi sinopsis , nama-nama aktor dan aktris, pengantar, atau catatan lain mengenai pementasan ini. Selain itu, secara pribadi sudah lama sekali tidak berkecimpung di kelompok teater. Baik sebagai pemain, penata lampu, atau sekedar menonton. Sepanjang pementasan UUM saya harus membagi fokus antara memotret, mencerna pementasan, juga melamunkan masa lalu. Di sela-sela pementasan tiba-tiba saja merasa rindu pada Teater Bedeng Hunian BH, Tepass Pamass, Lises, juga GSSTF dengan Parade Mei-nya. Di mana hampir 3/4 masa studi di Sastra Unpad saya habiskan untuk hidup dan membina diri di dalam kegiatan kesenian yang diadakan kelompok-kelompok itu.

Kekurangan lain dari pementasan ini adalah saat saya menyadari bahwa kamera saya tak cukup gegas untuk mengambil gambar-gambar cepat di atas panggung yang kerap kurang cahaya. Menaikkan ISO ke 1600 hanya membuat gambar yang dihasilkan tidak memuaskan karena noisenya sangat mengganggu. Memikirkan kamera baru membuat saya tiba-tiba berada di dalam pusaran kelompok rampok yang dipimpin Waska. Saya tiba-tiba merindukan kehadiran tokoh Waska untuk bisa memimpin sebuah gerakan anti moralitas yang jujur. Ingin rasanya menggedor toko untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih baik, serta lebih mahal. Mungkin saya harus memakan jamu dadar bayi seperti Waska agar bisa bersabar menunggu saat itu tiba. Mungkin….

Bandung 07122009

lihat sumber disini

Apakah Nabi harus manusia yang membawa kebenaran? Apakah seorang Nabi harus membawa kebahagiaan bagi umatnya? Apakah seorang Nabi harus membawa kedamaian di muka bumi? Bagi sebagian orang jawabannya ya. Tapi bagi teater lakon UPI Bandung, lain lagi ceritanya. Tanggal 21 November bertempat di gedung PKM UPI mereka membawakan drama besutan Arifin C Noer berjudul Umang-umang, sosok Nabi yang selalu identik dengan pembawa nilai kemanusiaan, kini berubah radikal menjadi sosok yang jahat berwujud manusia, kesukaannya merampok, mencopet, memalak, bahkan membunuh orang. Sungguh radikal bukan?

Adalah Dedy Warsawa sang sutradara yang menjembatani nilai amanat yang ACN tulis dalam bentuk seni pertunjukan. Dari mulai seni dekorasi, pertunjukan bahkan seni musik, ia hadirkan guna menghadirkan roh ACN ke dalam panggung.

Tidak berlebihan saya mengatakan demikian, pikiran ACN yang kerap terperangkap dengan persoalan sosial, ujung-ujungnya memaksa kita menyerap mentah-mentah kritik sosial, gaya parlemen jalanan, bahkan pesta orang-orang marjinal. Kompleksitas tersebut nampaknya ada dalam drama tersebut, terlebih ACN membawa-bawa seorang Nabi dalam naskah umang-umang.

Jika merunut kebelakang, seni drama seringkali lahir dari persoalan sosiologi. Lihat saja Shakespare dengan karyanya Hamlet, begitu berani mengangkat persoalan yang waktu itu oleh gereja dianggap wilayah abu-abu. Lebih-lebih di negeri ini, konon disebut juga negara dunia ketiga.

Karena padahakekatnya setiap karya sastra (drama) merupakan jawaban terhadap berbagai hipotesis hidup, maka ACN menghadirkan belenggu sosialnya dengan pertunjukan drama. Saya masih ingat ketika menonton drama Tengul dan AA-II-UU nuansa tersebut hadir dalam setiap adegan yang dibawakan. Dan pada akhirnya hipotesis tersebut akan menjadi efek domino saling melengkapi, dan merupakan serangkaian potret-potret diri kita dalam berbagai ekspresi aktor.

Dari Nabi sampai ke Semar
Bentuk dualisme tokoh dalam pertunjukan drama, baru pertama kali saya tonton. Bentuk-bentuk seperti itu bisa saja menghadirkan sebuah revolusi pertunjukan atau bahkan menambal kekurangan dengan tidak adanya “monolog cerita”. Saya menemukan bentuk dualisme ini dalam tokoh Waska yang diperankan oleh Yussak Anugrah. Disatu sisi Waska digambarkan sebagai seorang Nabi bagi penjahat dan perampok, namun di sisi lain ia berpose sebagai seorang penuntut cerita layaknya dalang dalam hal ini sebagai tokoh Semar.

Waska yang merupakan penjelmaan kaum marjinal, membawakan sosok spiritual bagi kaumnya, ia hendak merampok kota dengan membawa kaum yang memujanya. Oleh kaumnya ia dianggap sebagai seorang Nabi yang membawa kebenaran dan keberuntungan hidup, terlebih mereka berada dalam zona ekonomi lemah, Waska hadir dan memberikan solusi untuk merampok kota.

Lain halnya dengan Waska yang dipentaskan dengan gaya dualisme penokohan, dua orang tangan kanannya Ranggong dan borok yang masing-masing diperankan oleh Sahlan Bahuy dan Chandra Kudapawana, menyajikan bentuk yang satu watak satu pertunjukan. Mereka digambarkan setia untuk mewujudkan keinginannya tuanya. Tapi masalah timbul ketika Sang Nabi tiba-tiba sakit dan menuntut mereka untuk mencari obat kepada seorang nenek agar sang Nabi dapat hidup kekal. Nenek tersebut mensyarakatkan untuk memakan jantung bayi. Hingga mereka kekal dan tak bisa mati, dan disinilah masalah muncul, karena ketika keinginan merampok kota terpenuhi, mereka mengingkari keinginan sebelumnya yaitu hidup kekal. Kini mereka tersiksa karena tidak bisa mati, berbagai cara dilakukan agar bisa mati, tapi tetap saja nihil. Sama halnya dengan nihilisme penokohan, begitu absurd dan liar.

Perwujudan tokoh dengan watak yang penuh absurdisme, setidaknya menuntut penonton untuk memasangkan tokoh dengan alur cerita. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi tersendiri karena tokoh dan penokohan dalam drama biasanya menampilkan juga kompleksitas psikologis. Sehingga justru yang berkembang adalah tokoh-tokoh tiruan dunia nyata dengan memasukan untuk absurdisme. Dalam teater kompleksitas tersebut kadang membawa tantangan penafsiran bagi penonton, namun seperti yang saya sebutkan, penonton harus jeli memisahkan antara bentuk universal tokoh dengan aspek psikologisnya.

Kita ambil tokoh Waska, yang dianggap sebagai Nabi. Penonton bisa saja tergiring bahwa Waska adalah tokoh yang jahat dan penuh onar, dalam dimensi seperti ini memang benar adanya. Namun, jika harus berpikir ala dekosntruktif, tokoh Waskalah yang mempunyai peranan yang baik, bahkan bagi dimensi penonton sekalipun, karena setiap tingkah lakunya yang jahat dia menghadirkan aspek psikologisnya untuk membawa pesan moral.

Saya sendiri menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan tersebut hanyalah dijadikan sutradara untuk mewujudkan gagasan-gagasannya. Tubuh dan gesture aktor menjadi gagasan sutradara, sehingga ia akan kehilangan identitas sesungguhnya. Lihat saja Tokoh Waska dan Semar, begitu apik sutradara menjembatani dua tokoh yang bertolak belakang ini.

Mungkin bagi ACN penggambaran Waska merupakan kenikmatan tersendiri menghadirkan tokoh yang penuh anomali. Dalam sebuah tulisan di blog ACN, dia menyebut bahwa naskah dramanya merupakan naskah drama cerdas, ia harus didukung oleh kecerdasan sang sutradara menjembatani amanat ACN dengan penonton. Sutradara dan aktor dituntut berpikiran cerdas dan piawai.

Dalam masalah panggung misalnya, sutradara mencoba mengimbangi kekurangan tata artistik dengan guyonan dan lelucon, misalnya dalam tokoh ulama (saya tidak tahu yang sebenarnya siapa, tapi penampilannya seperti ulama). Karena ketiadaan efek angin untuk menggerakan jubahnya, ia mencoba menutup kekurangan tersebut dengan menyuruh seseorang untuk menggerakannya. Mungkin kedengarannya aneh dan kelihatan bodoh sang sutradara menyuduhkan adegan tersebut tanpa efek. Tapi ia berpikir lain, orang yang menggerakan jubah tersebut dipaksa naik panggung, dan menyuruh aktor lain untuk mengomentarinya “Hei, ulama bawa juga pelayan yang menggerakan jubahmu itu”, kira-kira seperti itu dialognya. Namun yang pasti ia tidak menghadirkan kekurangan sebagai lahan untuk menabur benih kebodohan, justru menambah kelebihan, hingga saya berkata “Waw menakjubkan”.

Dalam aspek lain, seni musik juga dihadirkan dengan apik. Saya teringat ketika menonton film mafia Hollywood kental dengan lagu ghotic, atau bahkan lagu James Bond. Tapi dalam mafia Indonesia, ia menghadirkan lagu dangdut sebagai pengiring jalan cerita. Memang benar apa yang dilakukan sutradara bahwa unsur lokalitas terkadang menjadi senjata ampuh untuk membuat decak kagum penonton.

Umang-umang sebuah filosofi hidup
Apalah artinya sebuah karya jika tak membawa pesan moral atau setidaknya esensi hidup. Mungkin itulah yang terpikirkan oleh ACN, karena pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan. Sama halnya dengan teater ini. Penuh dengan nilai dan esensi hidup.

Saya mengawali dengan tokoh Waska, yang menjadi sentral pertunjukan tersebut. Tokoh Waska hadir sebagai tokoh yang penuh pemberontakan, ia senantiasa mengayomi kaum marjinal untuk merampas kekayaan kaum konglomerat. Bisa saja ini bentuk kebiadaban, namun lagi-lagi saya berpikir dekonstruktif. Jika seandainya yang menonton adalah kaum berada, sudah barang tentu mereka akan mendalami tokoh Waska sebagai seorang yang membutuhkan uluran tangan, sehingga ia rela merampok.
Tokoh ini bahkan hadir pergolakan batin antara kehidupan seniman dan dunia kaum terpinggirkan, saya selalu teringat sajak Rendra “Penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan”.

Tentu saja ACN tidak meniru gaya Rendra dalam mengkritik fungsi dan kepekaan seorang penyair. Ia bahkan berpikir lebih kritis lagi, bahwa kehadiran penyair yang membawa penderitaan rakyat dan kehidupan kaum marjinal, hanyalah sebuah kedok untuk mendongktak populariras, mereka hanya memanfaatkan nama, setidaknya itulah yang terpikirkan ACN.

Lebih jauh lagi saya akan membongkar filosofi umang-umang, mengapa ACN rela memberi judul drama tersebut dengan judul yang aneh dan kurang populer. Mungkin ACN senang memberi judul yang penuh kontroversi dan berada dalam dimensi anomali. Umang-umang hanyalah binatang laut yang tidak mempunyai tempat tinggal, bahkan cangkang yang selalu ia bawa hanyalah pinjaman dari sisa hidup binatang lain.

Hiduplah sederhana seperti umang-umang, itulah mungkin yang hendak diangkat oleh ACN. Kesederhaan begitu penting dalam esensi hidup. Namun seperti yang telah saya ulas, bahwa ACN tidak puas dengan nilai-nilai yang universal, ia senang berkecimpung di sisi absurdisme. Bahwa dengan kesederhanaan manusia tidaklah cukup, ia harus memberontak, bahkan memberontak kepada Tuhan agar ia tidak mati. Tapi saya dapat menikmati suguhan esensi drama ini bahwa “hidup adalah sebentuk keabadian yang tak pantas untuk dimiliki. apalah artinya hidup jika tidak mati”

lihat sumber disini


umang
Photobucket bigwaska